welcome to my space

welcome to my space

sekali lagi selamat datang di blog yang mungkin terkesan sangat biasa sekali..tapi untuk itu saya sangat senang hati jika ada yang mau memberikan masukan
arigatou ^_^

Jumat, 14 Januari 2011

Merosotnya Pengendalian Diri Generasi Muda

Ada sebuah kata bijak yang mungkin sering kita dengar yaitu “ generasi yang baik ialah yang meninggalkan generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya”. Ya, penerus nahkoda pembangunan bangsa terletak di pundak setiap generasi baru, yang masih muda, kuat, dan memiliki pikiran yang cerdas untuk menentukan segala keputusan dengan baik dan bijak di masa mendatang. Tapi, bagaimanakah jadinya jika generasi penerus seolah salah jalan? Nyatanya saat ini, sebagian besar generasi muda kehilangan pengendalian diri mereka. Seperti yang kita ketahui, pengendalian diri itu ada yang berasal dari dalam diri, misalnya kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri dari hal-hal buruk yang ada dalam dirinya, entah itu hawa nafsu, rasa amarah, iri, dengki, dan segala penyakit hati lainnya, yang kedua ialah pengendalian diri atas segala hal yang memicu kita untuk hilang kendali, yang berasal dari luar diri sendiri, yaitu pengaruh lingkungan.

Sayangnya, kedua pengendalian diri inilah yang seolah hilang dari generasi muda saat ini. Kita dapat melihat sendiri buktinya dalam masyarakat. Terdapat banyak perkelahian atau tawuran yang telah terjadi. Terkadang hal ini pun hanya dipicu oleh hal-hal kecil, misalnya salah paham. Namun, pemicu lain juga dapat membuat perkelahian atau tawuran tersebut terjadi, misalnya adanya kecemburuan sosial, hasutan dari orang lain, atau rasa solidaritas yang terlewat berlebihan antara seorang yang satu dengan orang yang lainnya. Telah banyak contoh yang dapat kita ambil untuk menggambarkan keterpurukan mental para generasi muda dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di antara mereka. Misalnya saja, kita dapat melihat bagaimana peristiwa tawuran dan kekacauan yang terjadi di Kampus Haluoleo, Kendari, beberapa hari yang lalu. Dapat kita lihat sendiri, pelaku-pelaku yang melibatkan diri dalam “acara” tawuran dan kekacauan tersebut didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa dari universitas itu sendiri. Contoh lain pula, seorang mahasiswa yang tertikam karena perselisihan pendapat yang lazim terjadi, namun diselesaikan dengan cara yang tak bijak. Setelah salah seorang saja yang merupakan kawan dari mahasiswa yang tertikam tersebut tahu akan tindakan penikaman itu, ia pun mulai mengabarkan kawan-kawannya yang lain, dengan atau tanpa hasutan sekalipun, kawan-kawan lain dari mahasiswa korban penikaman itu pun naik pitan. Dan tanpa adanya pengendalian diri untuk memikirkan matang-matang solusi bijak atas masalah tersebut, situasinya pun akan menjadi sangat rawan. Rasa solidaritas yang terlewat berlebihan tersebut pun membuat mereka membalaskan dendam dengan cara yang sama, yaitu membunuh, atau bila mereka takut tertangkap oleh pihak yang berwajib, dengan beramai-ramai mereka melakukan aksi anarkisme dengan melempari bebatuan dan menggunakan senjata tajam untuk tawuran bersama, seolah ingin membuktikan siapakah yang paling pandai dan “jago” dalam hal kekuatan pukul-memukul. Sungguh suatu yang amat tak patut untuk dibanggakan oleh orang-orang yang terdidik dan terpelajar, dalam contoh ini ialah mahasiswa-mahasiswa tersebut. Mereka tidak berfikir apakah dengan aksi anarkisme tersebut dapat membalut luka tikaman dan membantu penyembuhan kawan mereka? Atau jika kawan mereka itu pun telah meninggal dunia- misalnya, apakah dengan aksi anarkisme tersebut dapat menghidupkan kembali kawan mereka- korban penikaman tersebut? Tentulah jawabannya “tidak”.

Hal tersebut justru akan menambah panjangnya rantai dendam antara kelompok yang satu dan kelompok lainnnya. Turut pula masyarakat serta sarana dan prasarana umum menjadi korban perusakan tatkala tawuran tersebut terjadi. Dan apakah ini yang diharapkan bangsa kita untuk maju dengan generasi yang hanya mengutamakan pembalasan dendam dan rasa solidaritas yang berlebihan dengan adu otot? Jika kita berfikir, dapatkah kita mempercayakan amanah membangun bangsa untuk menjadi lebih baik pada para generasi muda yang memiliki krisis mental tersebut? Tak dapat dibayangkan sepuluh dua puluh tahun ke depan bangsa ini dipimpin oleh generasi penerus yang hanya mengandalkan kekuatan otot ketimbang kekuatan otak. Negeri-negeri tetangga pun akan tertawa terbahak-bahak melihat kondisi genersi muda yang masih sibuk beradu otot di bumi, sedang mereka terus mengembangkan diri dan mungkin telah sampai di bulan. Setidaknya, sebagai generasi muda yang termasuk dalam golongan dari contoh peristiwa di atas memiliki sedikit saja rasa malu jika telah turut dalam aksi anarakisme atau pembalasan dendam dalam tawuran yang hanya mendatangkan lebih banyak kerugian dari pada manfaatnya.

Untuk itu, rasanya tidak salah jika generasi kita mau menengok sedikit saja bagaimana negera-negara tetangga kita telah maju dan didominasi oleh generasi penerusnya yang masih muda-muda tersebut. Rasanya tak salah juga jika generasi muda kini mencoba menata diri dan mengembalikan kembali pengendalian diri dalam menyingkapi segala permasalahan yang dijumpai dalam perjalanan membangun bangsa yang masih hendak berkembang ini, serta membiarkan pihak-pihak yang berwajib, dalam hal ini pihak kepolisian untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam menyelasaikan segala kasus kriminal menurut hukum yang telah berlaku. Dan kita sebagai masyrakat yang baik cukuplah membantu dengan patuh pada aturan, tanpa perlu menerapkan hukum sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar